Komite Stabilitas Sistem Keuangan ( KSSK) berencana menunjuk bank bank BUMN yang tergabung dalam Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) sebagai penyangga likuiditas bagi bank bank yang mengalami kesulitan. Namun, rencana ini dianggap akan membebani bank bank BUMN di tengah adanya kebijakan restrukturisasi kredit perbankan sesuai arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengaku dirinya kurang setuju bila bank bank BUMN menjadi bank penyangga likuiditas bagi bank bank yang likuiditasnya terganggu.
Menurutnya, kebijakan ini akan memengaruhi saham bank bank BUMN, lantaran dikhawatirkan para pemegang saham minoritas memiliki pandangan negatif soal kebijakan tersebut. "Harus hati hati juga karena bank Himbara sudah go public. Jadi ada pemegang saham minoritas kan, itu kan bahaya juga. Mereka pasti berpikir 'Lho, ini kan bank harus mencari profit tapi malah nanganin yang lain. Mereka pasti juga berpikir menangani restrukturisasi saja sudah banyak sekali dan repot, ini malah bank lain," ujar Aviliani, Senin (11/5/2020). Selain itu, imbuh Aviliani, ditunjuknya bank Himbara sebagai bank penyangga likuiditas tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antara bank penyangga likuiditas dengan penerima likuiditas.
Sebagai bank penyangga likuiditas, bank Himbara harus bisa menilai dan membantu likuiditas bank bank yang sedang kesulitan. Padahal, dalam hal ini, OJK memiliki wewenang untuk melakukan penilaian apakah bank tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan pinjaman likuiditas. Aviliani juga meminta agar KSSK bisa mengkaji ulang terkait bank Himbara yang akan dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas.
Ia menyarankan, baiknya lembaga keuangan lain diluar bank Himbara yang dijadikan sebagai lembaga penyangga likuiditas seperti PT Perusahaan Pengelola Aset (PTPPA), yakni BUMN yang mengelola aset aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), baik aset kredit, saham maupun properti. "Kenapa PPA? karena PPA ini kan semacam venture capital, menempatkan dulu dana kemudian nanti ditarik lagi. Itu kan PPA juga di bawah pemerintah," jelas dia. Secara terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah juga tidak sependapat bila bank Himbara dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas bagi bank bank yang kesulitan likuiditas.
Dirinya menekankan, urusan likuiditas seharusnya tidak melibatkan bank Himbara, melainkan menjadi wewenang bank sentral yang tugasnya mengatur likuiditas di pasar. Menurutnya, jika bank mengalami kesulitan likuiditas maka langkah terakhir yakni bank sentral harus menggelontorkan likuiditasnya untuk perbankan. Ia mengungkapkan, jika KSSK memutuskan untuk menjadikan bank BUMN sebagai bank penyangga likuiditas, mau tidak mau bank Himbara harus bisa menilai apakah bank penerima likuiditas tersebut layak untuk menerima likuiditas atau tidak.
Namun, yang dikhawatirkan adalah, bila terdapat masalah pada bank penerima likuiditas, tentu yang harus bertanggung jawab adalah bank penyangga likuiditas. "Sekarang yang ditempuh adalah menggunakan bank Himbara sebagai bank perantara, disebut sebagai bank anchor. Kenapa harus melalui bank anchor? Kalau itu yang dilakukan, pertanyaannya likuiditas bank Himbara sumbernya dari mana? Kemungkinan besar dari pemerintah. Pengaturan dan pengawasan tetap di OJK, tapi nanti kalau ada apa apa yang akan diminta pertanggungjawaban adalah pejabat bank Himbara," ungkap dia.