Pemerintah telah menetapkan tarif tunggal bea meterai sebesar Rp 10.000 per meterai mulai 1 Januari 2021. Namun, mengingat masih banyak meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000 yang beredar di pasaran, pemerintah memberikan relaksasi. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Suryo Utomo mengatakan, meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000 masih bisa digunakan di tahun depan dengan masa relaksasi selama satu tahun. Artinya sampai dengan 31 Desember 2021.

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Kemenkeu Arif Yanuar menjelaskan, jadi ada dua metode penggunakan meterai lama di tahun depan. Pertama, menempel meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000 dalam satu dokumen. Kedua, meterai dua meterai Rp 6.000 dalam satu dokumen. Nah, dokumen yang menggunakan relaksasi tersebut yakni dokumen yang memiliki nilai di atas Rp 5 juta. Hal ini sebagaimana menginduk dalam Undang Undang (UU) Bea Meterai yang sudah diundangkan oleh DPR RI, Selasa (29/9).

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, struktur tarif bea meterai di Indonesia relatif lebih sederhana dan ringan dibandingkan negara lain. "Itu kalau dirupiahkan sekitar Rp 130.000 sampai Rp 4,5 juta. Di kita hanya Rp 10.000. Kalau dibandingkan dengan nilai transaksi nominal terendah Rp 5 juta itu berarti 0,2 persen," kata dia. Selain itu menurutnya, kenaikan tarif tersebut juga masih lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura dan Australia. Apalagi jika dibandingkan dengan kenaikan PDB per kapita pada 20 tahun lalu.

"Seperti Singapura yang memberlakukan stamp duties, itu dari rentang satu sampai dua persen. Kalau negara lain juga menggunakan persentase rata rata. Misalnya Australia 5,75 persen dan lain lain," ungkapnya. Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi menjelaskan pembayaran kewajiban pajak dokumen secara digital memiliki sistem seperti membayar pulsa. Nantinya ada code generator yang dibuat sistem dan didistribusikan melalui sistem saluran atau channeling.

Di dalam sistem saluran tersebut nantinya dibuat sebuah akun e wallet yang berisi total nilai meterai yang dibayar. Hingga saat ini, ada empat sistem saluran yang sedang dikembangkan oleh DJP. Yang pertama, pembayaran meterai elektronik atau e meterai menggunakan semua saluran elektronik yang memuat dokumen elektronik.

"Dokumen elektronik otomatis akan ditera berdasarkan dokumen yang dibuat berdasarkan kriteria (yang telah ditentukan)," jelas Iwan. Sistem yang lain adalah pemeteraian dokumen fisik, tetapi secara elektronik. Dengan wallet yang sama, dokumen fisik bisa dimasukkan ke sistem dan ditera meterai elektronik "Ketiga sistem upload. Upload ke 1 portal tertentu, lalu di print lagi sudah ada meterai elektronik," jelas Iwan.

Yang terakhir, DJP sedang mengembangkan sistem meterai tempel, tetapi bisa dicetak oleh merchant dengan sistem tertentu dan kertas tertentu. Cara pembayarannya dengan e wallet yang sebelumnya sudah dijelaskan. "Ini lebih efisien," jelas dia. "Masalah penerapannya tergantung kesiapan sistem. Mungkin bertahap. Tapi, 1 Januari siap di pasaran, yang mana bentuknya kita sedang explore," ujar Iwan.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan, pada tahun 2021 mendatang otoritas fiskal masih memberlakukan masa transisi untuk menghabiskan stok meterai nominal lama. "Jadi 2020 masih meggunakan Undang undang Bea Meterai yang lama, transisi seperti diceritakan sebenarnya untuk menghabiskan stok meterai. Yang belum terpakai, kita beri ruang," jelas Suryo dalam taklimat media secara virtual di Jakarta, Rabu (30/9/2020). Suryo menjelaskan, tarif yang berlaku saat ini, yakni Rp 3.000 dan Rp 6.000 sudah berusia 20 tahun. Tarif tersebut sudah mengalami kenaikan enam kali lipat dari tarif awal, yakni Rp 500 dan Rp 1000 sebagaimana yang dibolehkan dalam Undang undang (UU) Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.

"Itu kira kira urgensi kenapa perlu mengubah Undang undang Bea Meterai, yang pertama dokumen sudah berubah, termasuk elektronik, kedua tarif bea meterai sudah 20 tahun tidak naik, ini jadi urgensi, dasar alasan pada waktu mengusulkan mengubah bea meterai," jelas Suryo. Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Arif Yanuar menyebut, masyarakat bisa menggunakan kedua materai yang ada baik Rp 3.000 dan Rp 6.000 di masa transisi pada 2021 mendatang. Minimal nilai meterai yang digunakan dalam dokumen adalah sebesar Rp 9.000.

"Dengan cara memateraikan dalam dokumen minimal nominal Rp 9.000. Jadi bisa dipasang Rp 6.000 dan Rp 3.000 atau Rp 6.000 dan Rp 6.000. Minimal Rp 9.000. Sampai dengan satu tahun ke depan. Ini masa transisinya," jelas dia. Sementara itu, dalam Pasal 7 Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Bea Meterai seperti dilansir dari Kontan.co.id, pemerintah mengatur ada sepuluh dokumen yang tidak dikenakan bea meterai. 1. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang, antara lain surat penyimpanan barang, konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim, dan surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat lain

2. segala bentuk ijazah. 3. Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran. 4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan.

5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan. 6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi. 7. Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah.

Surat gadai. 9. Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. 10.Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter.

1. Surat perjanjian dan surat surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata. 2. Akta akta notaris sebagai salinannya. 3. Akta akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap rangkapnya.

4. Surat yang memuat jumlah uang, yaitu: Menyebutkan penerimaan uang, Menyatakan pembukuan atau penyimpanan uang dalam rekening di bank,

Berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, Berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan. 5. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep , dan cek.

6. Efek dalam nama dan bentuk apapun. " , " " dan"