Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) saat ini memang diluar asumsi APBN di level Rp 14.400. Menurutnya, mulai adanya penguatan rupiah saat ini dari sebelumnya Rp 16.000 karena Kementerian Keuangan juga turut mengambil peran dari sisi kebijakan fiskal negara. "Kementerian Keuangan melakukan penguatan rupiah karena kebijakan fiskal juga mempengaruhi terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Dari sisi fiskal tentu kami juga sangat memahami bahwa tidak hanya ditentukan oleh Bank Indonesia saja," ujarnya saat rapat virtual bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Rabu (6/5/2020).

Sri Mulyani menjelaskan, banyak faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah secara fundamental dalam kondisi pandemi corona atau Covid 19 ini. "Namun, dalam situasi seperti ini bisa terjadi ketika pelemahan ketika aliran modal keluar sangat cepat dan mendadak. Lebih dari 100 miliar dolar AS lari dari negara berkembang," katanya. Bahkan, kaburnya aliran modal yang menekan mata uang negara berkembang sekarang porsinya jauh lebih besar dari taper tantrum 2013.

"Bahkan kalau dibandingkan taper tantrum 2013 maupun pada saat krisis finansial dunia 2008, tingkat kepanikan akibat Covid 19 ini lebih tinggi. Juga dibandingkan situasi tahun 2003 waktu terjadinya SARS," pungkas Sri Mulyani. Dalam menangani dampak ekonomi yang disebabkan pandemi virus corona (Covid 19), Bank Indonesia (BI) memastikan tidak akan melakukan pencetakan uang. Pernyataan tersebut disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam live streaming video conference terkait Perkembangan Ekonomi Terkini, Rabu (6/5/2020).

Menurutnya, hal tersebut bukan merupakan praktik kebijakan moneter yang terbiasa dilakukan BI. "Pandangan pandangan BI (perlu atau tidaknya) mencetak uang, itu bukan praktik kebijakan moneter yang lazim dan tidak akan dilakukan di Bank Indonesia," ujar Perry, pada kesempatan itu. Perry menambahkan, kebutuhan masyarakat bisa diukur dari angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Namun demikian, ia menekankan bahwa praktik ini tentunya harus sesuai dengan tata kelola Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasinya 3 persen, kurang lebih kenaikan pencetakan uang sekitar 8 persen. Kalau ingin tambah stok barangkali 10 persen, keseluruhan proses ini sesuai tata kelola dan diaudit BPK," kata Perry. Sebagai informasi, beberapa hari lalu Badan Anggaran DPR RI mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun.

Cetak uang lebih banyak, bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak virus Corona (Covid 19). Tak cuma DPR, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, juga mendukung wacana yang dilontarkan para wakil rakyat tersebut. Bahkan menurut versi Gita, uang yang dicetak diusulkan jauh lebih besar, sebanyak Rp 4.000 triliun. Wacana cetak uang baru dilontarkan setelah melihat defisit APBN yang melebar di atas 5 persen dari sebelumnya hanya 1,75 persen.

Namun pencetakan uang bisa memicu hal negatif. Jika tak bisa dikendalikan, cetak uang yang terlalu banyak bisa memicu inflasi yang tinggi yang pada akhirnya bisa merugikan masyarakat. Uang yang beredar akan semakin banyak, membuat nilai uang terus menerus berkurang yang membuat harga harga barang melambung. Nilai tukar uang asing sangat dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar. Bertambahnya rupiah bisa berakibat turunnya nilai kurs. Apalagi, rupiah bukan mata uang yang bisa diterima di dunia seperti dollar AS atau yen Jepang.

Risiko utang luar negeri yang naik tajam merupakan efek domino dari anjloknya mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Semakin nilainya merosot, maka otomatis membuat utang luar negeri bisa semakin membengkak.